Dalam
buku Cheng Ho-Penyebaran Islam di Cina ke Nusantara disebutkan bahwa
perkembangan Islam berjalan lambat di Cina pada awalnya. Hal itu disebabkan
karena pedagang-pedagang Islam dari Arab itu tidak diperbolehkan menikah dengan
penduduk setempat ataupun berinteraksi pada masa itu. Seiring berjalannya waktu
mereka diberi kelonggaran untuk dapat berinteraksi maupun menikahi wanita
setempat bahkan mereka diperbolehkan membangun pemukiman-pemukiman bagi mereka
dan keturunannya.
Para
pedagang Arab dan Persia yang berniaga ke Tiongkok pada umumnya orang-orang
Islam yang datang secara perorangan itu kemudian memanfaatkan kebebasan
tersebut dengan menikahi wanita setempat. Keturunan mereka dari generasi ke
generasi memeluk Agama Islam dan menjadi penduduk di Tiongkok. Hal yang sama juga
dilakukan oleh para tentara mongol muslim yang menetap di Cina setelah
mengikuti ekspedisi ke Barat yang dipimpin oleh Genghis Khan. Dalam memenuhi
kebutuhan mereka sebagai eks tentara mongol, mereka juga melakukan perdagangan
atau bekerja sesuai dengan keahliannya seperti pengrajin kayu, pandai besi dan
lain-lain. Selain menikahi perempuan setempat, pedagang-pedagang dan
tentara-tentara mongol ini sudah tentu membangun pemukiman-pemukiman yang
dijadikan sebagai tempat menetap yang nyaman dan dapat melangsungkan kehidupan
sehari-harinya. Mereka membangun masjid-masjid untuk memenuhi kewajiban
beribadahnya.
Sedangkan
orang-orang Islam Cina yang sudah berhasil dalam mempelajari Agama Islam di
daratan Arab kembali ke Cina, mereka sebagai orang-orang Islam mempunyai misi
untuk berupaya mengembangkan agar ilmu dan hasil yang di dapat dalam
mempelajari Islam dapat di wariskan ke anak cucu mereka di Cina. Dari sinilah
kemudian muncul pemuka-pemuka Islam untuk mengajarkan Islam kepada orang-orang
Cina Islam lainnya dengan memanfaatkan masjid selain tempat beribadah juga
sebagai sarana untuk belajar mengajar atau pusat pendidikan dan pusat
komunitas. Anak-anak diajarkan membaca Al-Qur’an, bahasa Arab dan bahasa
Persia.
Ketika Dinasti Tang
berkuasa (618 – 690 dan 705 – 907), Cina tengah mencapai masa keemasan,
sehingga ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok. Berawal dari
kaisar Cina pada masa Dinasti Tang yang tampaknya memiliki pengetahuan tentang
nabi-nabi Islam dan Kristen, sebagaimana yang dituturkan oleh penjelajah Arab
Ibn Wahab dari Basra kepada Abu Zaid sekembalinya ke Irak. Kaisar Dinasti Tang
meminta bantuan Kerajaan Persia untuk mengutus pengajar-pengajar Islam ke Cina.
Namun, raja Persia yakni Raja Firus menolaknya karena daratan Cina terlalu jauh
untuk didatangi. Akibat dari penolakan tersebut, Kaisar Cina lah yang mengutus
orang-orang Cina untuk belajar Islam di Madinah pada masa kekhalifahan Utsman
Bin Affan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Di dalam kitab sejarah Cina,
yang berjudul Chiu T’hang Shu diceritakan Cina pernah mendapat
kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih (Arab).
Orang-orang Ta Shih ini, merupakan duta dari Tan mi mo
ni’ (Amirul Mukminin), yang ke-3 (Khalifah Utsman bin Affan).
Pada masa ini Khalifah Utsman bin Affan menugaskan
Sa’ad bin Abi Waqqash untuk membawa ajaran Illahi ke daratan China
(Konon, Sa’ad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M, dan kuburannya
dikenal sebagai Geys’ Mazars). Utusan khalifah itu diterima secara
terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Sejak saat
itu Islam dikenal dan mulai tersebar di berbagai wilayah di Cina. Tidak hanya
itu, khalifah-khalifah Islam lainnya juga sering mengirim delegasi ke Cina
untuk mengajarkan Agama Islam kepada orang-orang Islam Cina seperti halnya yang
dilakukan Harun Al Rosyid (A-Lun), Abu Abbas (Abo-Loba) dan Abu Dja’far (A-pu-cha-fo) dalam riwayat
Dinasti Tang. Buya HAMKA didalam bukunya Sejarah Umat Islam
menulis, pada tahun 674M-675M, Cina kedatangan salah seorang sahabat
Rasulullah, Muawiyah bin Abu Sufyan (Dinasti Umayyah), bahkan
disebutkan setelah kunjungan ke negeri Cina, Muawiyah
melakukan observasi di tanah Jawa, yaitu dengan mendatangi kerajaan Kalingga.
Berdasarkan catatan, diperoleh informasi, pada masa Dinasti Umayyah
ada 17 duta muslim datang ke China, sementara di masa Dinasti Abbasiyah
dikirim sebanyak 18 duta.
Pada awalnya, pemeluk agama Islam
terbanyak di China adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang China yang
pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi.
Kemudian Kaisar Yung Wei memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau
masjid Memorial di Kanton, yang merupakan masjid pertama di daratan
Cina. Orang China mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao yang
berarti ‘agama yang murni’. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat
kelahiran ‘Ma-hia-wu’ (Nabi Muhammad SAW).
Pada
pertengahan periode Dinasti Tang, jalur sutra diganggu orang-orang Turki dan
mengakibatkan pedagang-pedagang Arab melakukan perjalanan laut. Perjalanan itu
dilakukan mulai dari Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan
di Tiongkok seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Yang hou melalui teluk
Benggala, Selat Malaka, dan Laut Tiongkok
Selatan.
Ketika Dinasti Song (960
– 1279) bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan
impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara
konsisten dijabat orang Muslim. Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti
Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di China.
Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara China dengan Kekaisaran Liao di
wilayah Timur Laut.
Pada
awal abad ke-13 Genghis Khan mengadakan ekspedisi ke Barat, Genghis Khan
memerintah orang-orang Islam di Asia Tengah dan Asia Barat membantu tentara
Mongol. Orang-orang ini terdiri atas prajurit, tukang kayu, pandai besi dan
sebagiannya ikut ke Tiongkok bersama tentara Mongol. Ketika Dinasti Mongol Yuan
(1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di China semakin besar. Mongol,
sebagai minoritas di Cina, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik
status menjadi Cina Han. Sehingga pengaruh umat Islam di Cina semakin kuat.
Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti
Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.
Bangsa
Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan
keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode
Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender.
Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan,
Khanbaliq (Sumber : Sejarah Islam di Negeri Tirai Bambu ).
Pada
masa Dinasti Yuan (1274-1368) berbagai bangsa di Xi Yu disebut sebagai bangsa
Se Mu. Pada waktu itu bangsa Se Mu mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi
daripada bangsa Han, akan tetapi di bawah status bangsa Mongol. Dengan
ditempatkannya banyak prajurit yang muslim dan dibangunnya masjid di berbagai tempat
oleh penguasa Dinasti Yuan, Agama Islam mulai tersebar luas di Tiongkok.
Orang-orang Islam tersebut pada umumnya berasal dari bangsa Se Mu. Sebagaimana
diketahui, pada masa Dinasti Han (206-220M) Xi Yu mengacu Xinjiang (bagian
barat Laut Tiongkok). Asia Tengah dan daerah-daerah lainnya yang terletak di
sebelah barat kota Yung Meng Guan (Provinsi Ghansu). Orang-orang Bukhara itu
lalu menetap di daerah antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin
Pangeran Amir Sayyid alias ‘So-Fei Er’, yang kemudian dikenal sebagai `bapak’
komunitas Muslim di China.
Pada
masa kekuasaan Dinasti Ming (1368 – 1644), Muslim masih memiliki pengaruh yang
kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah
jenderal Muslim terkemuka. Ada lagi Lan Yu Who pada sekitar tahun 1388. Lan
memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Selain itu, di masa
Kaisar Yong Le (Zhu Di) muncul seorang pelaut Muslim yang handal, yang bernama
Laksamana Cheng Ho.
Sumber:
okky-fib11.web.unair.ac.id
No comments:
Post a Comment