Sedikit Kisah Tentang Bulan Muharram
kisah bulan islam muharram
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan
haram (Maksudnya ialah: bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan
Rajab). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu
menganiaya diri (Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan
mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan
itu dengan mengadakan peperangan) kamu dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi
kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa”. (QS. Al Taubah: 36)
Muharram merupakan bulan yang
sangat berpengaruh pada sejarah kehidupan umat Islam. Suatu bulan yang
menjadi pembuka tahun dalam kalender Islam, Hijriyah. Suatu bulan yang
penuh barokah dan rahmah, karena bermula dari bulan inilah –menurut
dunia Islam- berlakunya segala kejadian alam ini. Bulan Muharram juga
termasuk salah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah dalam al
Qur’an (Al Taubah: 36).
Secara otomatis bulan Muharam merupakan
bulan yang menyimpan banyak sejarah kehidupan umat. Di mana pada bulan
itu Allah SWT banyak menurunkan peristiwa yang patut dikenang bagi umat
sebagai rasa syukur atas kenikmatan yang diberikan, karena
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bulan tersebut dapat memberikan
banyak inspirasi bagi kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi ini.
Meskipun demikian, di sana kadang timbul pertanyaan dalam benak kita,
kenapa penetapan awal tahun dalam Islam berdasarkan hijrah Rasul
Muhammad saw? Apakah karena dalam hijrah tadi terdapat sesuatu yang
sangat urgen untuk dikenang? Bukankah selain hijrah masih ada beberapa
peristiwa yang tidak kalah pentingnya dengan hijrah tadi? Seperti
kelahiran atau wafat Rasul saw, peristiwa awal penerimaan wahyu,
peristiwa Isra’ & Mi’raj yang mendatangkan perintah shalat wajib
lima waktu, di mana hal itu merupakan tonggak atau tiang agama
(Ashsholatu ‘imaduddin). Pun tak kalah pentingnya peristiwa penaklukan
kota Mekah yang menjadi pusat persatuan dan kesatuan umat Islam, dan
masih banyak lagi beberapa peristiwa lainnya yang berpengaruh pada
eksistensi Islam di muka bumi ini. Namun, kenapa harus bersandar pada
hijrah Rasul Muhammad saw kalender Islam itu ditetapkan?
Bulan Muharram Dalam Sejarah
Tradisi penanggalan Hijriyah dirintis pada masa kekhalifahan Umar Bin
Khattab RA. Pada waktu itu muncul wacana diperlukannya penanggalan yang
baku dan seragam untuk berbagai urusan kenegaraan dan kemasyarakatan.
Kemudian, muncullah berbagai usulan dari para Sahabat. Pada akhirnya
disepakati bahwa peristiwa hijrah Nabi SAW dari Makkah menuju Madinah
dijadikan patokan dalam perhitungan awal tahun kelender Islam.
Dalam sejarahnya, Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) pernah
menerima surat dari Gubernurnya di Bashra Abu Musa Al Asy’ari yang
menyebutkan pada awal suratnya berbunyi: “……menjawab surat Tuan yang
tidak tertanggal…..”. Perkataan pendek yang tampaknya tidak begitu
penting telah menarik perhatian Khalifah Umar, yaitu perlunya umat Islam
mempunyai penanggalan yang pasti. Hingga akhirnya diadakan musyawarah
khusus untuk menentukan kapan awal tahun baru Islam.
Dalam
musyawarah yang dihadiri oleh para tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan
sahabat itu, muncul beberapa usulan untuk menentukan kapan dimulainya
tahun baru Islam. Di antara usulan tersebut terdapat pendapat yang
mengatakan penanggalan Islam dihitung dari peristiwa penyerangan Abrahah
terhadap Ka’bah, yang dikenal dengan sebutan “Amul Fiil” (tahun Gajah)
dan itu sudah sering dipakai. Ada yang menyarankan penanggalan Islam
dihitung dari turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah SAW, di mana
waktu itu beliau secara resmi dilantik oleh Allah SWT sebagai Nabi dan
Rasul untuk seluruh umat. Ada juga yang mengusulkan penanggalan Islam
dihitung dari wafatnya Rasululah saw, dengan alasan pada waktu itu
diturunkan wahyu terakhir yang menegaskan bahwa Islam sebagai agama yang
sempurna. Dan ada pula yang berpendapat bahwa penanggalan Islam
dihitung dari hijrahnya Rasullah saw dari Mekah ke Madinah, dengan
alasan karena peristiwa itu merupakan pintu masuk kehidupan baru bagi
Rasulullah SAW dan umatnya dari dunia kemusyrikan menuju dunia tauhid
(Islam).
Setelah lama musyawarah bersama dengan berbagai pendapat
dan argumentasi masing-masing, akhirnya disepakati bahwa usulan
terakhir itu yang diterima (penanggalan Islam dihitung dari hijrahnya
Rasullah saw dari Mekah ke Madinah), yang kemudian diumumkan oleh
khalifah bahwa tahun baru Islam dimulai dari Hijrah Rasulullah Ssw dari
Makkah ke Madinah.
Menariknya, meskipun awal bulan Muharram
merupakan awal tahun bagi tahun Hijriyah, ternyata Muharram bukan awal
permulaan hijrah Nabi SAW. Soalnya hijrah beliau jatuh pada permulaan
bulan R. Awwal tahun ke-13 kenabian (14 Sept 622 M), bukan pada awal
Muharram. Sedangkan antara permulaan hijrah Nabi Saw dan permulaan
kalender Islam (Muharram) sesungguhnya terdapat jarak sekitar antara
62-64 hari, dan antara keduanya terdapat bulan Shafar.
Dalam
kitab tarikh Ibnu Hisyam dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah
Rasulullah dari Mekah ke Madinah pada akhir bulan Shafar, dan tiba di
Madinah pada awal bulan R. Awal. Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram
sebagaimana anggapan sebagian orang.
Adapun penetapan Bulan
Muharram sebagai awal tahun baru dalam kalender Hijriyah adalah hasil
musyawarah para sahabat nabi SAW pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab
ra saat mencanangkan penanggalan Islam. Pada saat itu ada yang
mengusulkan R. Awal sebagai awal tahun dan ada pula yang mengusulkan
bulan Ramadhan. Namun kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan
Muharram, dengan pertimbangan bahwa pada bulan itu telah bulat keputusan
Rasulullah saw untuk hijrah ke Madinah pasca peristiwa Bai’atul Aqabah
(ikrar penduduk Madinah yang datang ke Mekah untuk masuk Islam). Di mana
saat ada 75 orang Madinah yang ikut baiat untuk siap membela dan
melindungi Rasulullah SAW, jika beliau datang ke Madinah di kemudian
hari. Dengan adanya bai’at ini, Rasulullah SAW pun melakukan persiapan
untuk hijrah, dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar, meski
ancaman maut dari orang-orang Quraisy senantiasa mengintai beliau.
Betapa besar dan berat perjuangan Rasul SAW waktu itu hingga setiap
datang tanggal 1 Muharram, ingatan kita terlukis kembali pada puncak
perjuangan beliau SAW 14 abad silam. Suatu perjuangan untuk membebaskan
kaum muslimin dari kezaliman dan tindakan sewenang-wenang yang menimpa
mereka dikarenakan tindakan orang-orang kafir tersebut semakin hari
semakin meningkat pada taraf yang sangat membahayakan masa depan Islam
dan kaum muslim. Dengan izin Allah SWT, Rasulullah SAW beserta para
sahabatnya yang setia, akhirnya meninggalkan tanah kelahirannya yang
tercinta Makkah Al-Mukarramah untuk pindah ke negeri yang baru yaitu
Yastrib (Madinah). Perpindahan beliau dari Makkah ke Yastrib inilah
yang disebut “hijrah”, dan oleh Khalifah Umar bin Khattab dijadikan
momentum dan starting point, pangkal tolok perjalanan sejarah Islam,
dengan ucapannya: “Hijrah itu memisahkan antara yang hak dengan yang
batil, karena itu jadikanlah catatan sejarah”.
Hijrah Sebagai Penetapan Kalender Islam
Peristiwa hijrah Rasul Allah Muhammad saw dan para sahabatnya, bisa
kita ambil sebagai suatu pelajaran berharga dalam kehidupan kita.
Betapapun berat menegakkan agama Allah SWT, tetapi seorang muslim tidak
layak untuk mengundurkan diri untuk berperan di dalamnya.
Dalam
sejarahnya, malam itu (menjelang hijrah) Rasulullah SAW akan keluar
dari rumah. Sementara di luar rumah, orang-orang yang ingin membunuhnya
sudah menunggu. Dengan izin Allah SWT (waja’alna min baini aidihim
saddan wa min kholfihim saddan fa’aghsyainahum, fahum la yubshirun),
baginda Nabi SAW bisa melewati para musuh yang telah mengepung rumahnya
tadi dengan selamat.
Meskipun berhasil melewati mereka, beliau
tetap harus bersembunyi dahulu di sebuah goa (tsur) karena musuh masih
tetap mengejar. Namun mereka tidak berhasil dan beliau dapat meneruskan
perjalanannya. Meskipun demikian pengejaran tetap dilakukan, tetapi
Allah menyelamatkan beliau dan juga Abu Bakar yang menemaninya hingga
sampai di Madinah dengan selamat. “Allah senantiasa akan menolong
hambaNya selama ia mau menolong agamaNya”.
Perjalanan dari Mekah
ke Madinah yang melewati padang pasir yang tandus dan gersang, telah
beliau lakukan demi sebuah perjuangan yang menuntut sebuah pengorbanan.
Namun beliau yakin bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan “inna ma’al
‘usri yusron…”.
Begitu tiba di Madinah, dimulailah fase
kehidupan baru dalam sejarah perjuangan Islam. Perjuangan demi
perjuangan beliau lewatkan bersama para sahabat. Menyampaikan wahyu
Allah, mendidik manusia agar menjadi masyarakat yang beradab dan
terkadang harus menghadapi musuh yang tidak menginginkan akan hadirnya
agama baru (Islam). Tidak jarang beliau turut serta ke medan perang
untuk menyambung nyawa demi tegaknya agama Allah SWT, hingga Islam tegak
sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk dunia saat itu.
Lalu sudahkah kita berbuat untuk agama kita?
Jika dicermati dan
direnungi dengan seksama apa yang terjadi dalam sejarah hijrah tersebut,
pemilihan hijrah sebagai titik perhitungan kalender Islam sangatlah
tepat. Di mana penetapan tersebut didasarkan pada esensi dari peristiwa
hijrah itu sendiri, yaitu suatu gerakan umat secara kolektif dari dunia
kegelapan kufur menuju kondisi yang lebih baik (Islam).
Daya
revolusi dengan hijrah sebagai inspirasinya, tidak mungkin terjadi jika
umat tidak menyediakan ruang koreksi bagi diri sendiri. Kita bisa
sepakat bahwa pertambahan usia manusia berbeda dengan usia mobil yang
kian bertambah. Manusia tua tidak sama dengan mobil tua. Jika mesin
secara perlahan mengalami kerusakan mekanis, aus, berkarat, dan
sebagainya, maka semua itu beda dengan manusia. Hakikat usia manusia
terletak pada kesempatan untuk membentuk sikap dewasa dari masa ke masa.
Jika asumsi tersebut bisa diterima secara kolektif, usia peradaban
manusia yang kian menua harusnya menuju pada kematangan atau kedewasaan.
Namun, tampaknya yang terjadi tidak selalu demikian. Manusia kini
memang banyak mengaku dirinya modern, namun sering alpa jika mereka
adalah bagian dari alam semesta yang fana.
Arti Muharram
Kata Muharram, secara etimologinya diambil dari kata Arab
“Harrama-Yuharrimu-Tahriiman-Muharrimun-wa-Muharramun”, yang berarti
“diharamkan”. Yakni, Muharram adalah sesuatu yang dihormati / yang
terhormat dan yang diharamkan (dari hal-hal yang tidak baik).
Sebagaimana tertulis dalam sejarahnya, bahwa pada bulan Muharram ini
umat Muslim diharamkan Allah untuk berperang.
Bulan Muharram
adalah bulan yang pertama dan salah satu dari 12 bulan dalam kalender
hijriah yang tercantum pada Kitabullah, sejak Allah SWT menjadikan alam
semesta. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (Maksudnya
ialah: bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri
(Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan
yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan
peperangan) kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum
musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya,
dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS.
Al Taubah: 36).
Adapaun kata-kata “hijrah” dan pecahan katanya,
dalam Alqur`an ada lebih dari 30 kata. Kata-kata hijrah dirangkai dengan
kata-kata “iman” dan “jihad”. Hal itu menunjukkan bahwa hijrah itu
adalah suatu tingkat dalam perjuangan (jihad) yang berlandaskan kepada
keimanan. Firman Allah SWT: “Orang-orang yang beriman, yang berhijrah
dan berjihad pada jalan Allah dengan harta benda dan dirinya, lebih
tinggi derajatnya pada sisi Allah, Mereka itulah orang-orang yang
menang. Tuhan menyampaikan berita gembira kepada mereka dengan beroleh
rahmat, ridhaNya dan surga yang di dalamnya mereka memperoleh nikmat
yang abadi”. (QS. At-Taubah: 20-21).
Derajat yang tinggi dari
Allah SWT tersebut merupakan penghargaan bagi orang-orang yang berjuang,
berjihad dan berkurban demi agamaNya. Perjuangan harus dilandasi dengan
iman yang kuat dan mendalam. Jihad adalah upaya dengan sungguh-sungguh
sehingga nampak jelas garis pemisah antara yang hak dan yang batil.
Pada tahun baru Hijriyah, Muharram, bagi orang yang tidak atau kurang
mengerti tentang Islam, mereka akan memperingatnya dengan cara yang
kurang tepat karena bertitik tolak dari anggapan yang kurang tepat pula.
Mereka yang demikian tersebut menganggap Muharram (syura) adalah bulan
keramat, angker, atau naas dan berbahaya. Oleh karena itu, peringatan
yang diadakan juga bermacam-macam, antara lain; begadang semalam suntuk,
berjalan (pawai) semalam suntuk, mengadakan sesaji ke laut atau
tempat-tempat yang dianggap keramat, mandi keramas (berendam) supaya
awet muda, memandikan (marangi) pusaka, seperti keris, tombak dan lain
sebagainya.
Demikian itu mereka lakukan karena menurut
keyakinannya, mereka takut celaka, takut kena musibah, dan sejenisnya.
Padahal sebenarnya hal tersebut sama sekali tidak diajarkan oleh Islam,
bahkan hal itu bisa mengantarkan pelakunya pada jurang kesyirikan
(musyrik), na’udzu billah min dzaalik.
Di sini, yang paling
relevan untuk dilakukan adalah apa yang pernah diketengahkan oleh Amirul
Mukminin, Umar Ibn Khaththab: “ Haasibuu anfusakum qabla an tuhasabuu ”
(Koreksilah diri kalian, sebelum kalian semua dikoreksi (di akhirat)
kelak). Dalam ungkapan itu yang dimaksud adalah seruan pada umat secara
kolektif untuk introspeksi diri pada apa yang pernah dilakukan
tahun-tahun sebelumnya. Bukan malah berpoya-poya, berpesta-ria,
ber-SEPHIA-mesra (Sabu-Ekstasi-Putaw-Heroin-Inex-Alkohol) dan
ber-vulgaria bersama penjaja cinta sebagaimana yang dilakukan oleh
(sebagian) orang-orang Barat.
Betapa sangat terpuji dan mulianya
jika dana pesta-pesta tersebut, sarana dan prasana penyambutan tahun
baru yang tidak bermanfaat itu dialokasikan kepada mereka yang masih
selalu menjerit kelaparan, merintih kehausan, menangis kehilangan papan
(tempat tinggal), menggigil kedinginan dan yang mengerang kepanasan.
Masih adakah empati kita pada mereka? Ataukah empati itu sudah tertutup
dengan dinding tebal apatis dan egois kita?
Sejarah Dalam Muharram
Sementara dalam bulan Muharram, lebih-lebih tanggal 10 Muharram, yang
disebut ‘Asyura, atau bulan Suro (sebutan Jawa) banyak menitiskan
peristiwa bersejarah pada kita, kususnya apa yang pernah dialami oleh
para Nabi dan Rasul Allah. Di mana pada hari itu merupakan “hari
pertolongan” bagi para Nabi.
Dalam sejarahnya, pada hari itu
terdapat beberapa peristiwa besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah
eksistensi agama Tauhid (Islam), antaranya:
1. Nabi Adam
bertaubat kepada Allah dan dipertemukan dengan isterinya,
Siti Hawa di Padang Arafah (Jabal Rahmah).
2. Nabi Idris diangkat oleh Allah ke langit.
3. Nabi Nuh diselamatkan Allah SWT dari perahunya setelah bumi ditenggelamkan selama enam bulan.
4. Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud.
5. Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara.
6. Penglihatan Nabi Ya’kub yang kabur dipulihkan Allah kembali.
7. Nabi Ayub dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritanya.
8. Nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam.
9. Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa as.
10. Nabi Musa AS menyeberangi laut merah menyelamatkan diri dari kejaran Fir’aun.
11. Nabi Sulaiman dikaruniai Allah kerajaan yang besar.
12. Nabi Ayub sembuh dari sakitnya yang kronis.
13. Nabi Muhammad SAW lepas dari racun orang-orang Yahudi.
14. Terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, Husain Ibn Aly ra. di bukit Karbala.
Pada tanggal ini pula, ummat Islam zaman dahulu diwajibkan berpuasa
sebelum adanya perintah wajib puasa Ramadhan. Namun setelah turunnya
perintah puasa Ramadhan, maka puasa pada tanggal 10 Muharram menjadi
sunnah. Sebagaimana dalam satu riwayat disebutkan bahwa: “Rasulullah
menyuruh kita berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharram”. (HR Tirmidzi).
Kemudian di hadits lain Rasulullah SAW meringankan puasa ‘Asyura
menjadi sunnah dengan sabdanya: “Barangsiapa yang ingin puasa Asyura,
maka berpuasalah dan barangsiapa yang ingin tidak berpuasa, silakan
meninggalkannya”. (Al-Hadits). Karena peristiwa bersejarah yang cukup
banyak terjadi pada 10 Muharram ini, maka tanggal ini dianggap sebagai
tanggal yang penting. Hingga ditetapkan sebagai awal tahun dalam
kelender hijriah, di samping bertendensi pada kematangan Rasulullah saw
untuk bersiap-siap hijrah pada bulan itu.
Anjuran Dalam Bulan Muharram
Rasulullah SAW menganjurkan kepada ummatnya untuk memetik nilai-nilai
rohaniah dari kejadian-kejadian tersebut dan menjadikannya hari
peningkatan ibadah dan amal, yaitu dengan berpuasa pada bulan Muharram.
Sebagaiamana dijelaskan dalam sabdanya: “Puasa pada hari Asyura
menghapuskan dosa-dosa (kecil) pada setahun yang lampau”. (HR Muslim).
Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata:
Rasululullah saw. Bersabda: “Jika Aku masih hidup tahun depan, niscaya
aku akan benar-benar berpuasa pada hari “tasua’ (9 Muharram). (HR.
Muslim & Ibnu Majah), yakni demikian itu untuk membedakan kebiasaan
kaum yahudi yang suka berpuasa pada tanggal 10 Muharram untuk mengenang
sejarah keselamatan Nabi mereka, Musa as. Dan dijelaskan pula bahwa
Rasul saw wafat terlebih dahulu sebelum menjalankan puasa di hari tasu’a
(9 Muharram) tadi.
Begitu juga dianjurkan pada hari tersebut
melakukan perbuatan kebajikan, yang termasuk dalam kategori amal saleh
seperti menyantuni fakir miskin, anak yatim, orang-orang lemah dan
sengsara, kaum atau keluarga yang membutuhkan pertolongan dan lain-lain.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang melapangkan (memberi)
keluarganya dan ahlinya pada hari Asyura, maka Tuhan akan memberikan
kelapangan padanya selama satu tahun”. (HR Baihaqi)
Dengan
memahami hadits-hadits tersebut, jelaslah bahwa hari Asyura itu adalah
hari untuk beribadah dan beramal serta hari untuk merenungi sejarah.
Juga sebagai hari ‘inayatullah (pertolongan Allah), bertaubat, dan minta
pertolongan Allah, kususnya mulai tanggal 1 hingga 10 Muharram.
Rasulullah SAW mulai mengerjakan puasa ‘Asyura setelah hijrah ke kota
Madinah dan sebelum turun ayat mewajibkan puasa Ramadhan.
Dalam
suatu riwayat, Said bin Jubair dari Abbas RA mengatakan, ketika Nabi SAW
baru hijrah ke Madinah mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari
‘Asyura. Maka beliau bertanya kepada mereka tentang hal itu, jawab
mereka “Hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil terhadap Fir’aun
dan kaumnya, maka kami puasa karena menganggungkan hari ini”. maka Nabi
pun bersabda: “Kami lebih layak mengikuti jejak Nabi Musa dai pada
kamu”.
Penutup
Setelah membaca sejarah Muharram yang
penulis suguhkan di atas, setidaknya ada beberapa hikmah yang dapat
dipetik untuk dijadikan cermin kehidupan kita sehari-hari. Hiruk-pikuk
dan zig-zag yang beraneka macam dalam kehidupan yang penuh fatamurgana
ini, sangat sulit kita lalui tanpa ada cermin yang menuntun.
Di
antara hikmah tersebut adalah kita bisa mengatakan bahwa usaha dan
tawakal merupakan kunci sukses dalam mengarungi hidup di dunia ini.
Demikian digambarkan Rasul saw bersama Abu Bakar RA saat bersembunyi di
Gua Tsur dan para pengejar mereka yang telah berdiri di mulut gua
tersebut. Saat itu Abu Bakar RA sangat gemetar ketakutan. Rasulullah SAW
menenangkannya sambil berkata: “jangan kuatir dan jangan bersedih.
Sesungguhnya Allah bersama kita”. (Al Hadits). Dengan usaha mereka
berdua yang berangkat hijrah ke Madinah waktu tengah malam dan selalu
bertawakal kepada Allah, akhirnya berhasil terhindar dari bahaya para
pengejar yang hendak membunuhnya itu.
Dalam pelaksanaan hijrah
sendiri, segala bentuk pengorbanan akan sia-sia dan tidak mendapat
pahala di sisi Allah, jika tidak dilandasi dengan perasaan ikhlas karena
Allah. Hal ini terekam ketika di antara para sahabat yang ikut
berhijrah itu bukan karena Allah, tetapi karena hendak kawin dengan
seorang wanita bernama ‘Ummu Qais di Madinah. Perihal tersebut diketahui
oleh sebagian sahabat. Sesudah sampai di Madinah, ada orang yang
bertanya kepada Rasululah: “Dapatkah pahala orang yang hijrah karena
hendak kawin?” Maka sabda Rasulullah: “Tidak diterima amal-amal,
melainkan menurut niat. Dan seorang tidak akan mendapatkan sesuatu
melainkan dari apa yang dia niatkan. Oleh sebab itu, barangsiapa hijrah
karena Allah dan RasulNya, maka ia akan dapat pahala hijrah karena Allah
dan RasulNya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia, maka ia akan
dapat keuntungan dunia itu atau hijrahnya karena wanita, maka ia akan
berkawin dengan dia. Maka (pendeknya pahala) hijrahnya itu menurut niat,
karena apa ia berhijrah”. (HR. Jama’ah)
Hijrah Rasulullah SAW dan
para sahabatnya juga membawa arti tersendiri dalam mempererat ukhuwah
islamiyah antara orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah
(muhajirin) dan orang-orang penduduk asli Madinah yang menolong
perjuangan Islam (Anshar).
Keharmonisan hubungan antara kedua
kelompok tersebut begitu mesra terbina, seakan-akan semuanya saudara
yang telah lama kenal. Kaum Anshar dengan segala keikhlasan memberikan
segala macam bantuan bagi Muhajirin yang telah meninggalkan harta
bendanya di Mekkah. Muhajirin pun ikut bersama membangun Madinah di
bawah pimpinan Rasulullah Saw.
Di sana ada juga pengorbanan dan
keyakinan (dalam ibadah; hijrah) yang tergambar dalam jasa Ali bin Abi
Thalib, yaitu ketika beliau tanpa ragu menyanggupi untuk menggantikan
Nabi agar tetap berada didalam rumah, bahkan beliau kemudian tidur dan
mengenakan sorban Nabi. Sungguh sebuah pengorbanan yang sangat heroik,
dimana Ali ibn Aby Thalib yang ketika itu masih seorang pemuda, rela
untuk menjadi tameng bagi kelangsungan hidup Rasulnya, yang berarti pula
kelangsungan dakwah Islam di muka bumi ini.
Nilai ini juga
ditunjukan oleh Abu Bakar as Shidiq, yakni ketika beliau berkata “Biar
saya yang masuk kedalam gua (Tsur) dulu, kalau ada binatang buas atau
binatang berbisa di dalam sana, saya rela mati, biar anda meneruskan
perjuangan dan dakwah anda”. Sebuah epik kepahlawanan dan pengorbanan
yang luar biasa. Kemudian dalam versi lain menambahkan bahwa ternyata
benar Abu Bakar digigit ular berbisa waktu itu, namun atas kehendak
Allah, beliau selamat dalam peristiwa itu.
Hikmah lain, adanya
upaya bagaimana menciptakan kondisi yang kondusif dalam lingkungan, agar
masyarakat bisa hidup dengan aman dan sentosa, damai dan sejahtera,
beretika dan beradab. Demikian tergambar dalam pada waktu Rasul SAW
sampai di tempat yang baru (Madinah). Di mana setelah itu Nabi SAW
mengganti nama “Yatsrib” (artinya; mengecam) menjadi “Madinah” (artinya;
Kota Peradaban).
Hal ini mencerminkan bahwa sebuah proses
keberhasilan tidak akan dicapai ketika orang-orang yang berada di
dalamnya saling mengecam satu sama lain, kritik yang tidak konstruktif,
asal ganti dan lebih mementingkan kepentingan golongan dan pribadinya
semata.
Penggantian nama Yatsrib menjadi Madinah, menyimbolkan
bahwa keberhasilan hanya akan dicapai dalam tata kehidupan yang beradab,
dengan adanya sopan santun dan etika berpendapat, kritik dan masukan,
tata aturan yang mesti dipenuhi oleh orang-orang beradab. Kemudian
dibuktikan dalam sejarah masa kini, bahwa -di manapun- tidak akan pernah
bisa mencapai keberhasilan, ketika individu-individu yang terlibat
dalam proses itu saling mengecam, bahkan tak jarang menyebarkan
fitnah-fitnah keji. Sebaliknya, sebuah kondisi yang “beradab”, yang
berdasarkan tata aturan dan norma kesusilaan-lah yang mengantar sebuah
bangsa, sebuah kelompok atau apapun untuk mencapai keberhasilannya.
Jika dicermati dengan seksama, akan kita temui bahwa hijrah Rasul saw
mempunyai banyak kelebihan dan pengaruh besar dalam eksisitensi agama
Islam ini. Hingga pantas hijrah rasul dijadikan patokan penetapan
kalender Islam. Sebab, peristiwa-peristiwa penting bersejarah yang
lainnya, hampir semuanya terkandung dalam peristiwa hijrah Rasul saw.
Misalkan peristiwa Isra’ & Mi’raj, di mana beliau mendapat perintah
shalat wajib lima waktu, datang setelah + dua tahun dari hijrah,
peristiwa penaklukan kota Mekah, terjadi setelah hijrah, pun wafatnya
Rasul saw terjadi setelah hijrah.
Sedangkan peristiwa kelahiran
Nabi saw tidak dijadikan patokan kelnder Islam, karena waktu itu beliau
(masih bayi) belum bisa diketahui kalau kelak akan menjadi rasul,
hingga kelahirannya pun tidak jauh beda dengan kelahiran bayi lainnya.
Awal wahyu turun, jika dijadikan patokan kalender, sangat memungkinkan
sekali akan menimbulkan banyak hal, karena peristiwa tersebut dimulai
dengan cara “berkhulwah” (bertapa/ semedi). Di mana hal itu sering pula
dilakukan kebanyakan orang Jahiliah, dan sebagainya. Yang ahirnya
menimbulkan statemen bahwa Islam adalah agama Muhammad (Muhamadism).
Masih ada beberapa nilai lain yang terkandung dalam peristiwa Hijrah
tersebut, tapi sayang tidak sempat terekam oleh ingatan penulis, mungkin
bisa ditambahkan dan diluruskan untuk yang tidak benar dalam tulisan
ini. Semoga tahun baru Islam, Muharram 1429 ini, kita semua umat Islam
dapat mengambil hikmah yang banyak terkandung dari sejarah hijrah tadi MiftahulUlumAlGhozali
No comments:
Post a Comment